Menjadi Ibu

Menjadi ibu.. Bagi para shalihah dalah mimpi-mimpi yang dilatih dengan kerinduan, cinta dan asahan rasa. Seruak cita itu adalah fitrah paling indah yang dikaruniakan Allah.

Kecenderungan, rasa, kemuliaan!

Ibu..! Mulia cukup dengan telapak kaki perjuangan. Karena tak seorang pria pun, memiliki kedudukan ini: surga di telapak kaki. Tak satu pria pun. Demi Allah, tak satu pria pun..! Ibu..! Panggilan yang begitu menggetarkan, membiruharu, menggemakan rasa terdalam di diri setiap wanita. Ada nuansa cita, imaji, dan gairah setiap kali kata tiga huruf plus dua titik dan tanda seru itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil yang menyambut kehadiran.

Ibu..! Ini kata penegasan madrasah agung. Tempat anak-anak mempertanyakan semesta dengan bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Ini dermaga pengaduan paling luas saat mereka rasa teraniaya. Ini belai paling menenteramkan saat mereka gelisah. Dan ini dekapan paling memberi rasa aman saat mereka ketakutan.

Ibu..! Perpustakaan paling lengkap, kelas paling nyaman, lapangan paling lapang, tak pernah ia bisa digantikan oleh gedung-gedung tak bernyawa.

Ibu..! Panggilan yang meneguhkan status kemanusiaan. Dan kehormatan. Ibumu disebut tiga kali didepan, baru ayahmu menyusul kemudian. Begitu Rasulullah menegaskan. Ia juga panggilan yang membawa makna perjuangan. Pegalnya membawa kandungan, susahnya posisi berbaring, dan sakitnya melahirkan. Tapi juga senyum manis di saat berdarah-darah mendengar tangis sang putera pecah.

Ibu..! Banyak wanita yang kini enggan menjadi kata itu, maka kata itupun enggan menjadi mereka. Betapa sulit meminta wanita bersedia punya anak di beberapa negara maju misalnya. Ketika mereka menganggapnya sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya sebagai pintu penjara, kata itu justru enggan membantu mereka melepaskan diri dari jeratan kesendirian, membasuh kulit mereka yang melepuh akibat sengatan matahari. Kata itu jadi enggan menyediakan dermaga tempat mereka menambat perahu hati, berlabuh dari galau kehidupan.

Mungkin memang tidak sesederhana itu. Karena posisi ibu adalah anugerah, yang keimanan pun bukan jaminan Allah pasti mengaruniakannya pada kita. Sebagaimana 'Aisyah, Hafshah, Zainab binti Jahsy, mereka adalah ummahatul mukminin, ibu dari semua orang beriman. Tetapi mengandung, melahirkan, menyusui, menimang adalah bagian dari saat yang dinanti bersama hakikat kata Ibu..! Atau terkadang, penantian panjang, kegelisahan, kecemasan, dan jika panggilan itu tak segera hadir adalah ujian lain dari Allah. Alas an kesehatan, kerawanan melahirkan pada usia tertentu, menjadi gurita kecemasan lain yang mencoraki ujian itu.
Lalu Allah menjawab di antara doa hambaNya, istri Ibrahim dengan si shalih Ishaq, istri Imran dengan si suci Maryam, dan istri Zakariya dengan si alim Yahya. Setelah penantian panjang, doa yang menghiba, dan rasa yang tersembilu.. Ibu..! Lepas dari itu, sekali lagi, adalah menakjubkan setiap urusan orang mukmin. Seperti kata Rasulullah, menakjubkan! Karena setiap halnya adalah kebaikan. Dan itu tidak kecuali bagi orang mukmin. Jika disinggahi nikmat, ia bersyukur, maka kesyukuran itu baik baginya. Jika ditamui musibah ia bersabar, maka sabar itu baik baginya. Jika syukur dan sabar itu dua ekor tunggangan, Umar berkata aku tak peduli harus mengendarai yang mana.

Menjadi ibu hakiki, yang melahirkan atau tidak, setelah ikhtiar paling gigih, doa paling tulus, dan tawakkal paling terpasrah, adalah kemuliaan tanpa berkurang sepeserpun. Tidak sedikit pun. Semuanya mulia.

Ibu..! Sekedar agar bidadari cemburu padamu, dengan menjadi Ibu, kau takkan tersaingi olehnya selama-lamanya.

Ibu..! Melodi paling harmoni yang menggemakan jagad dengan jihad agungnya.

- Dikutip dari buku Agar Bidadari Cemburu Padamu


Previous
Next Post »